infotipikor.com, Bandung- Dalam kancah keberhasilan sebuah wilayah, manfaat keterlibatan masyarakat sangat relevan dengan perkembangan jaman,. Kontrol dan monitoring dalam pelayanan publik juga menjadi perhatian yang signifikan. FORKAS salah satu organisasi independen dengan ketua umum Nanang Jaenudin bersikeras akan intens memberikan perhatian khusus terhadap pelayanan publik dan perhatian pemerintah akan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat sekitarnya.
Dalam membantu masyarakat miskin, ada empat pendekatan yang dipakai oleh LSM. Keempat pendekatan itu didasarkan pada persepsi mereka mengenai keberadaan masyarakat miskin, yakni:
Pertama, pendekatan sosio-karitatif, yakni suatu pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat adalah miskin, menderita, dan tidak mampu menolong dirinya sendiri. Sejumlah LSM, khususnya yang berlatar belakang keagamaan, menggunakan pendekatan ini dengan, misalnya, mendirikan panti jompo, rumah yatim piatu, membuat program beasiswa.
Kedua, pendekatan sosio-reformis. Pendekatan ini dilakukan secara aksidental, dengan maksud mengembalikan keadaan menjadi normal kembali. Bentuk kegiatannya antara lain seperti karya kesehatan, menolong persoalan pribadi (antara lain masalah ketergantungan pada narkotika), penanggulangan bencana alam, dan kelaparan.
Ketiga, pendekatan sosio-ekonomis, yakni suatu pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa orang miskin mempunyai potensi untuk mengatasi masalah sosial-ekonomi mereka sendiri. Kalau potensi itu diperkuat, maka mereka akan menjadi mandiri dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan ini belakangan disebut pemberdayaan.
Keempat, pendekatan sosio-transformis. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pembangunan masyarakat pada dasamya adalah mengupayakan perubahan sikap, tingkah laku, pandangan, dan budaya masyarakat. Upaya dilakukan dengan cara memperjuangkan kebijakan pembangunan yang lebih berkeadilan dan partisipatif.
Mungkin timbul pertanyaan, mana dari keempat pendekatan tersebut yang paling baik? Tidak dapat ditentukan pendekatan yang paling baik. Sebab, semuanya bermanfaat dan dibutuhkan, bergantung pada situasi konkrit, analisis sosial, dan kelompok yang didampingi. Bahkan, banyak pula LSM yang mengombinasikan beberapa pendekatan tersebut dalam suatu program yang terpadu.
Berbagai pendekatan tersebut, sedikit banyak, telah menggambarkan peranan LSM dalam pembangunan nasional. Hampir semua bidang kehidupan rakyat kecil yang ditangani oleh departemen-departemen pemerintah merupakan bidang garapan LSM (dalam skala kecil). Berikut beberapa contoh:
- Bidang pertanian. LSM menyelenggarakan proyek-proyek yang mendorong kemandirian masyarakat, seperti proyek tanaman pangan, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Secara spesifik, proyek-proyek itu mengembangkan pertanian lahan kering, Tambak Inti Rakyat, Perkebunan Inti Rakyat, mengelola berbagai pusat latihan pertanian, dan mendorong terbentuknya kelompok-kelompok swadaya petani.
- Bidang kesehatan. LSM memelopori program dana sehat serta Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yang kemudian disebarluaskan oleh pemerintah. Demikian juga dengan Program Keluarga Berencana (KB), dirintis oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan selanjutnya dikembangkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Di banyak tempat, LSM juga mengupayakan tersedianya air bersih untuk minum dan program kesehatan masyarakat.
- Bidang keuangan. LSM menumbuhkan KSM yang mempunyai kegiatan di bidang pemupukan modal, dengan menyelenggarakan tabungan dan kredit. Mereka kemudian dihubungkan dengan bank, sehingga timbul Program Hubungan Bank dan KSM (PHBK). Sementara itu CUCO (Credit Union Counceling Office) telah menumbuh kembangkan ribuan koperasi kredit dengan total aset puluhan milyar rupiah.
- Bidang pendidikan. LSM menyelenggarakan program pelatihan untuk tenaga pendamping dan pengelola kegiatan yang mengembangkan kemandirian masyarakat. Selain itu, banyak juga LSM yang menyelenggarakan pendidikan non-formal di berbagai bidang serta melakukan pembinaan usaha kecil.
- Bidang lingkungan hidup. LSM mengupayakan kesadaran masyarakat dan mendorong kepeloporan untuk melestarikan lingkungan hidup. LSM juga memperjuangkan dilaksanakannya undang-undang lingkungan hidup dalam dunia industri, seperti masalah pengolahan limbah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, peranan LSM dalam proses pembangunan selama ini adalah: a). menyelenggarakan berbagai kegiatan inovatif yang bila berhasil dapat direplikasi oleh pemerintah dan organisasi lain melalui program yang lebih luas; b). melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat; c). menyelenggarakan berbagai forum dialog tentang kebijakan serta berfungsi sebagai katalis bagi berbagai aktor pembangunan.
Dalam kegiatan di lapangan, ada LSM yang mendampingi binaannya secara individual, dan ada pula yang mendampingi secara kelompok. Pengalaman Bina Swadaya menunjukkan bahwa pendampingan terhadap masyarakat kecil, yang umumnya lemah di bidang pengetahuan, ketrampilan, sikap tanggap, permodalan, serta kesempatan, paling tepat dilakukan secara berkelompok. Melalui kelompok akan terjadi proses belajar-mengajar serta saling bantu di antara anggota. Melalui kelompok juga dimungkinkan terjadinya pengumpulan daya dan dana untuk mengatasi masalah secara mandiri, selain memberi pelayanan kepada lebih banyak orang.
Untuk membantu mengembangkan kemandirian kelompok, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengidentifikasi permasalahan yang mereka hadapi secara partisipatif. Identifikasi ini dilakukan agar mereka dapat merancang sendiri pendekatan yang tepat sebagai jalan keluarnya. Adapun sebab-sebab yang melatarbelakangi kekurang mandirian kelompok-kelompok miskin di perdesaan, yang tercermin dari rendahnya partisipasi mereka dalam pembangunan, termasuk menikmati hasil-hasil pembangunan yang dicapai, adalah:
Pertama, terisolasinya kelompok-kelompok miskin dari berbagai sumber atau pusat kemajuan. Jika desa mereka terisolasi dari berbagai informasi, teknologi, modal, dan pasar maka kelompok-kelompok miskin itu tidak mempunyai banyak harapan untuk melepaskan diri dari keadaan yang ada.
Kedua, langkanya kesempatan untuk berusaha dan bekerja. Lapangan kerja yang dominan di desa adalah pertanian. Tetapi, kebanyakan kelompok miskin di perdesaan tidak memiliki tanah garapan.
Ketiga, kurangnya pengembangan sumber daya manusia. Karena terisolasi dari berbagai faktor kemajuan, kelompok miskin boleh dikatakan hampir tidak mempunyai peluang untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Kemiskinan yang mereka tanggungkan membuat mustahil memperoleh pendidikan yang cukup tinggi, yang dapat menjadi dasar untuk mengembangkan diri.
Keempat, kurangnya pemanfaatan sumber daya alam sebagai akibat rendahnya pengembangan sumber daya manusia. Karena rendahnya pendidikan formal yang mereka miliki, kelompok miskin di perdesaan tidak menguasai teknologi maju yang memungkinkan memanfaaatkan peluang-peluang yang ada di lingkungan mereka. Dengan demikian produktivitas mereka rendah.
Kelima, adanya pelapisan sosial-ekonomi pada masyarakat, sebagai akibat dari faktor-faktor di atas. Pelapisan masyarakat ini telah menghambat kemajuan kelompok miskin, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk melakukan inovasi demi memperbaiki keadaan ekonomi mereka.
Penanggulangan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat miskin pada ujungnya bergantung pada masyarakat miskin itu sendiri. Ini berarti potensi, kepercayaan, dan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir serta membangun diri, sesuai tujuan yang mereka kehendaki, harus dikembangkan. Usaha pengembangan itu dilakukan dalam wadah kelompok kecil (kelompok swadaya) yang memungkinkan interaksi di antara individu yang ada di dalam kelompok menjadi suatu proses pendidikan yang saling “asah-asih-asuh”. Di dalam kelompok, masalah-masalah yang dihadapi bersama didiskusikan, termasuk cara-cara pemecahannya. Tumbuhnya harga diri pada anggota kelompok, berkat interaksi yang saling mengukuhkan itu, akan menjadi modal utama menuju tercapainya kemandirian kelompok.
( Ardi )