INFOTIPIKOR.COM | Oleh : Chandra Sri Ubayanti (Guru SMAN 1 Fakfak, Papua Barat) – Perubahan kurikulum Indonesia dalam empat tahun terakhir ini masih terus berjalan ini. Episode yang belum usai tidak sedikit mengundang banyak pihak mencurahkan opini, gagasan, usulan, kritikan hingga kecaman dalam multiperspektif.
Saya sendiri akan menyoal Kurikulum Merdeka berdasarkan perspektif saya sebagai seorang guru, eksekutor kurikulum di lapangan, guru yang juga pemegang NRKS yang belum mendapat penempatan tugas, pemimpin organisasi guru tingkat wilayah Provinsi Papua Barat- IGI, dan fasilitator daerah untuk Program Organisasi Penggerak IGI wilayah tugas di Kabupaten Tambrauw,Provinsi Papua Barat (kini sudah masuk Papua Barat Daya).
Fungsionaris Orprof IGMP matematika tingkat pusat yang pernah mendapat kesempatan menyampaikan pendapat langsung dalam diskusi terbuka. Mendikbudristek dengan IGI saat HGN 2022 November lalu dalam kapasitas inilah tulisan berikut diturunkan.
Istilah printilan memang belum masuk dalam kosakata serapan dalam KBBI.Namun, serapan dalam bahasa Jawa ini bermakna hal-hal yang bersifat remeh-temeh atau hal-hal yang biasa kecil bentuknya.
Kata printil sendiri dapat ditemukan sebagai nama makanan berbahan dasar daging cincang yang dibulat-bulat kecil dimasak kuah santan.
Printilan seputar Kurikulum Merdeka di sini berarti hanya merupakan hal kecil atau remeh,dan tentu tidak dapat digeneralisir untuk menilai implementasi Kurikulum Merdeka secara umum.
Namun printilan ini jika dihubungkan dengan butterfly effect atau snowball, maka menurut saya dalam sebuah sistem, seberapa printil-nya sesuatu memiliki potensi untuk berdampak dan tidak dapat diprediksi seberapa besar dampaknya, teringat peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga.
Teringat pula, nilai kesucian air dalam hukum thaharah, atau hal lain seperti sel-sel kecil yang diam-diam bermutan.Kita tentu belumlah lupa bahwa virus C-19 adalah seprintil makhluk hidup tak kasat mata, tapi bisa memporak porandakan tatanan hidup manusia sedunia.
Sampai di titik ini, kita akan menyadari bahwa sejenak merenungi yang kecil dan remeh bisa jadi hal yang penting juga. Demikian harapan tulisan ini.
Printilan 1: Panggilan ibu dan bapak Guru
Pernahkah kita perlu berusaha keras menyadarkan diri untuk tidak salah menuliskan tahun 2023 dengan 2022 saat memasuki tahun baru kemarin? Pernahkah juga kita salah mengetik password setelah baru saja mengubah password? Atau, saat mencari alamat resto favorit yang baru saja pindah. Hal-hal baru tidak mudah untuk diterima, dan menginternalisasi dalam diri kita, bukan? Otak sendiri memerlukan waktu beradaptasi untuk menginternalisasi yang disebut masa inkubasi. Masa inkubasi seseorang bisa jadi berbeda.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, bukalah semua video dalam Portal Merdeka Mengajar (PMM), semua penutur akan selalu memulai dengan panggilan Ibu dan Bapak.
Bagi saya ini penyebutan yang tidak biasa. Dalam berkomunikasi baik lisan dan tulisan, kita sangat terbiasa dengan penyebutan Bapak/Ibu//Sdr/i, sehingga penyebutan Ibu dan Bapak Guru, dan bukan Bapak dan Ibu Guru pada semua, sekali lagi, pada semua video PMM menurut saya adalah sesuatu yang disengaja atau direncanakan.
Suatu perubahan kecil tengah direncanakan dan itu dimulai dengan penyebutan yang dibalik. Printilan berupa penyebutan kepada guru-guru ini jika pun tidak salah,menurut saya akan mengganggu kebiasaan yang sudah ada.
Bisa karena biasa. Jika panggilan Bapak dan Ibu adalah hal yang tidak salah, tidak esensi, lalu pertanyaannya, apa esensinya merubah sebutan menjadi Ibu dan Bapak? Telinga yang mendengar lalu meneruskan ke otak, akhirnya harus bekerja memerlukan masa inkubasi, melakukan adaptasi.
Mungkin seprintil, tapi kerja otak akan sama menurut saya, seperti memerintah si kidal untuk menggunakan tangan kanannya. Selain sebutan Bapak dan Ibu guru yang diubah menjadi Ibu dan Bapak guru, munculnya istilah Modul Pembelajaran, Capaian Pembelajaran, dan hilangnya istilah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dan istilah lama lainnya, yang telah menginternalisasi bertahun-tahun.
Tentu lebih membutuhkan upaya ekstra dan masa inkubasi yang cukup bagi semua guru ketika hendak mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Printilan 2: Perubahan lembaga-lembaga di bawah Kemendikbud (?)
Sejak 2013 hingga 2021 saya aktif mengikuti berbagai kegiatan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Pendidikan (PPPPTK) Matematika di Sleman Yogyakarta, nulai dari bimtek, olimpiade, seminar, hingga studi ke luar negeri.
Pembinaan yang dilakukan PPPPTK Matematika benar-benar rasa Yogya menurut saya, khas Jawa. Mengemong dan sangat ingin tahu apa yang dibutuhkan para guru di lapangan.
Hal ini tercermin dari keseriusan P4TK Matematika mengelola suatu kegiatan dengan ingin mendapatkan feed back seusai kegiatan. Seperti, kami para guru matematika selalu diingatkan oleh dalam berbagai kesempatan bahwa P4TK Matematika harus menjadi rumah kedua bagi para guru matematika se-nusantara.
Obrolan ringan tapi serius dengan Bapak Kapus, Prof. Dr. rer.nat. Widodo, M.S. (alm) dan ibu Kapus, Dr. Dra. Daswatia Astuty, M.Pd. begitu mudah terjalin. Pembinaan ‘emong’ dibalut rasa kekeluargaan ini berbuah semangat untuk terus berkarya di kalangan para guru matematika se-Indonesia.
Pertanyaan di sela-sela sambutan untuk mengangkat tangan kepada yang sudah sekian kali ke P4TK, menandakan kami percaya pada lembaga ini dalam berbagai program pemberdayaan dan pengembangannya.
Program yang berbasis data dan dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan para guru matematika. Tapi itu dulu, di era Kurikulum Merdeka, sesuai Permendikbud Nomor 9 Tahun 2020 terkait revitaslisasi lembaga di tubuh kemendikbud, semua PPPPTK berubah menjadi Balai Besar Guru Penggerak (BBGP).
Bukan hanya namanya, tupoksinya pun berubah. Semua LPMP juga berubah menjadi Balai Guru Penggerak (BGP). PPPPTK Matematika menjadi BBGP Yogyakarta yang akan menjadi balai diklat para Calon Guru Penggerak berbagai disiplin ilmu dan jenjang.
Hal ini mungkin yang menjadi bukti ucapan mas Menteri Nadiem Makarim, yang berjanji akan melakukan perubahan dari berbagai lini dalam satu sambutannya di UI di awal pengangkatannya sebagai menteri pendidikan.
Seluruh potensi kelembagaan di bawah Kemendikbud, dikerahkan untuk mensukseskan program guru penggerak sebagai implementor Kurikulum Merdeka.
Perubahan singkatan PPPPTK menjadi BBGP, atau LPMP menjadi BGP tidaklah lagi sebagai seprintilan. Perubahan signifikan sedang bergerak, hilangnya core kompetensi ke-mapel-an otomatis tidak esensial lagi.
Secara sistematis, guru dan lembaga pembina guru didorong untuk sama-sama menerima, mempelajari Kurikulum Merdeka, dan menerapkannya.Meski sampai di titik ini saya mengakui keseriusan mas Nadiem yang berkali-kali dalam sambutannya di berbagai kesempatan,bahwa bangsa kita harus melakukan lompatan-lompatan dalam melakukan perubahan, dan perubahan BBGP dan BGP adalah buktinya.
Namun sebagai orang yang telah menjadikan PPPPTK Matematika, sebagai rumah kedua dalam meningkatkan dan mengembangkan keprofesianalan guru matematika, jujur saya benar-benar kehilangan.
Dibalik kekaguman terhadap skenario mensukseskan program Guru Penggerak dengan mengalih fungsikan BBGP dan BGP ini, sebenarnya tersimpan pertanyaan besar. Lalu, apakah pengembangan kompetensi guru berbasis mapel tidak penting? Bukankah revisi K13 menjadi Kurikulum Merdeka dilatarbelakangi pentingnya pemilikan kompetensi abad 21? Critical thinking, HOTS atau Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi?
Jika hal ini penting, fungsi itu yang diemban oleh PPPTK sekarang menjadi tanggung jawab siapa?
Printilan ketiga: Previlege Guru Penggerak
Munculnya legitimasi terhadap Guru Penggerak (GP) menjadi kepala sekolah sebagai bentuk previlege atau hak istimewa, benar-benar menjadi bahasan menarik dalam ruang-ruang diskusi kami para guru. Baik formal atau informal, lisan atau tertulis. Terlepas dari pro dan kontra, Permendikbudristek Nomor 40 tahun 2021 itu bisa jadi benar-benar efektif mendongkrak jumlah pendaftar CGP.
Hal ini diungkapkan langsung oleh pembicara dari BBGP DIY saat webinar tentang tips lolos CGP. Webinar yang diinisiasi oleh SEAMEO Qitep in Mathematics pada tahun lalu ini, menjelaskan secara statistik memang ada lonjakan jumlah pendaftar CGP pasca terbitnya permendikbud tersebut.
Fenomena ini menurut saya sungguh menarik, mengapa? Di lingkungan tempat saya bekerja, animo untuk mengikuti diklat Calon Kepala Sekolah (Cakep) selama ini rendah.
Beberapa kali jika Kepala Sekolah mengumumkan terbukanya seleksi untuk mengikuti Cakep jumlahnya bisa dihitung jari. Yang sering saya dengar alasannya adalah tugas Kepsek itu berat hanya membuat kepala sakit. Tunjangan Kepsek juga tidak besar-besar amat bila dibandingkan dengan tanggung jawab yang diemban.
Seleksi Cakep dilakukan beberapa tahap.Seleksi administrasi, bimtek, dan tes kompetensi. Bagi yang lolos seleksi administrasi lanjut mengikuti diklat. Diklat Cakep tahun 2021 yang saya ikuti memang sekitar empat bulan dengan pola in on in dua siklus, pola daring untuk mempelajari materi dan penugasan, penguatan, dan persiapan proyek implementasi, gelar Karya dan tes.
Seleksi administrasi dan wawancara adalah seleksi terhadap portofolio,dan performa kematangan seorang guru calon pemimpin pembelajaran di tingkat satuan pendidikan tertentu. Saya, yang pernah mengikuti seleksi Cakep 2021 kemarin yang merupakan pola terakhir ternyata, membuktikan bahwa,faktor usia, pengalaman, dan kompetensi kepemimpinan menjadi penilaian utama bagi Cakep.
Perjalanan seleksi yang berliku ini, tentu saja agak terusik ketika melihat para CGP mendapat keistimewaan diangkat menjadi kepsek.
Terpikir apakah kurikulum rekrutmen dan diklat Cakep setipe dengan CGP? Bagaimana dengan masa kerja dan pengalaman memimpin? Pertanyaan ini mungkin sama seperti suara semut pada kawanan ribuan gajah yang melintasi padang rumput. Rekrutmen CGP terus bergerak, tahun ini sudah memasuki tahap 10 tahapan dan sudah mencapai angka puluh ribuan.
Pusaran Guru Penggerak ini tidak berhenti sampai di sini, di dalamnya terkait Pengajar Praktik, Fasilitator Guru Penggerak, Nara Sumber Guru Penggerak, Komunitas Penggerak yang jumlahnya juga ribuan.
Angka ini tentu saja tidak kecil, remeh atau printilan. Anggaran negara yang digelontorkan untuk program guru penggerak dan semua yang berbau penggerak menunjukkan bahwa pemerintah memandang penting dan serius terhadap program ini terkait dengan kesuksesan implementasi Kurikulum Merdeka.Pertanyaan-pertanyaan printilan saya di atas apakah tidak lagi berarti?
Printilan ke-empat: Program
Organisasi Penggerak
Program Organisasi Penggerak adalah episode awal sebelum Guru Penggerak. Dinamika POP juga sempat naik ke permukaan. Mundurnya organisasi besar seperti NU, PGRI dan Muhammadiyah dalam POP menyiratkan ada pro dan kontra. Ikatan Guru Indonesia (IGI) adalah termasuk yang pro alias menerima POP. Saya, adalah fasilator POP IGI lingkup tugas di Tambrauw, Papua Barat.
Dalam tiga tahun pelaksanaan POP IGI,tentu saja saya berterima kasih kepada pemerintah yang memberikan kesempatan kepada IGI untuk terlibat dalam mengentaskan masalah pendidikan.
Kemendikbudristek membuktikan janjinya untuk melibatkan berbagai pihak dalam mengentaskan masalah pendidikan di Indonesia terfokus literasi dan numerasi. Penentuan daerah sasaran POP yang melalui verifikasi pemerintah pusat dan pembekalan bagaimana POP dijalankan agar tertib administrasi dan keuangan menunjukkan POP merupakan hal yang serius.
Sampai di sini, bukan perhatian pemerintah pusat yang hendak saya soroti, melainkan apa yang saya temui saat turun ke lapangan saat mengimplementasikan POP. Daerah sasaran tugas saya sebagai fasda adalah Tambrauw.
Lokasi kegiatan dipilih di Kebar dengan pertimbangan lokasinya cukup dekat bagi semua peserta dalam hal ini kepsek dan guru. Untuk mencapai lokasi kegiatan, lebih dari separuh peserta harus menyewa kendaraan jenis Hilux dengan biaya antara 500 ribu hingga lebih dari sejuta per orang.
Saya sendiri bisa memilih menggunakan pesawat dari Manokwari. Meski biayanya relatif lebih murah dibandingkan jalur darat, jadwal pesawat twin otter tidak setiap hari.
Peserta yang jauh ditampung di mess Pemda yang kondisinya baik. Ada genset untuk penerangan dan mengoperasikan LCD Projector serta ruang diskusi yang representatif. Listrik baru tersedia mulai maghrib.
Peserta yang tinggal dekat mess berkendara dengan motor saja PP. Penyelenggaran POP di Tambrauw termasuk istimewa karena di tahun pertama seharusnya dilaksanakan secara daring karena masih di era pandemi, namun karena kesulitan sinyal, Tambrauw di tambah beberapa daerah sulit sinyal lainnya, diizinkan oleh kementrian untuk diselenggarakan secara luring.
Sebagai fasilitator daerah, tentu saja ada materi yang wajib disampaikan di antaranya menjelaskan tentang Pembelajaran Abad 21, belum lagi materi tentang kurikulum merdeka, literasi dan numerasi yang didisain sinambung sejak tahun pertama hingga ketiga.
Para guru dan siswa di sana adalah yang mengalami susah sinyal internet, sulit akses transportasinya, pemanfaatan teknologi informasinya kurang, ketersediaan listrik yang masih terbatas.
Bagaimana caranya, menggali konsepsi awal peserta? Saya berusaha menggali informasi sebanyak mungkin tentang ‘dunia pendidikan’ di Tambrauw tentang apa saja potensinya, untuk kemudian didorong menjadi pembelajaran yang bercirikan abad 21? Saya pun melakukan survei sebelum memberi materi. Oh, ternyata ada pasar rakyat dan bandara yang hanya berjarak puluhan langkah saja dari sekolah-sekolah dasar di sana, yang ketika saya tanyakan belum pernah menjadi sumber belajar dalam pembelajaran.
Tindakan printilan adopsi dan adaptasi seperti itu yang saya lakukan ketika itu, dan hal semacam ini saya pikir akan dialami semua guru saat menjadi eksekutor kurikulum di lapangan.
Pengetahuan tentang kurikulum tidak akan serta merta dapat diterapkan kecuali dipahami,, dipelajari, dimaknai, dalam waktu yang cukup (inkubasi) untuk kemudian diadaptasi sesuai keadaan yang khas.
Sampai dititik ini, saya hendak menitipkan pesan kepada para pemangku kepentingan di atas sana bahwa sebagus apapun kurikulum yang hendak digelontorkan, kami para guru memerlukan waktu untuk mempelajarinya hingga kebenaran dari makna kurikulum tersebut dibuktikan, dan itu dalam kurun waktu tertentu, dalam siklus tertentu seiring dengan frekuensi si guru dalam belajar.
Pelabelan arah dan waktu implementasi kurikulum dalam sekian episode belum cukup untuk menggambarkan kesuksesan di level grass root atau di level paling menentukan yaitu di kelas-kelas. Bukti-bukti praktik baik yang terpampang nyata di PMM perlu dikritisi, dikurasi, apakah itu hanya pencitraan atau telah menjadi pembiasaan?
Kita belum lupa tentang program Sekolah Model dan Sekolah Binaan di era K13 dengan Gerakan Literasi Sekolah, bukan? Seberapa banyak program sekolah yang juga telah menyita dana negara yang tidak kecil dan ada bukti-bukti indahnya dalam laporan sekolah benar-benar terbukti nyata sebagai pembiasaan?
Menurut saya, sekolah adalah ruang tempa kebiasaan menjadi pembiasaan. Pembiasaan yang berbuah nilai-nilai yang tumbuh dari jiwa berakhlak mulia. Ketika masih ditemukan anak sekolah tidak menyukai membaca atau tidak mampu menghormati gurunya saja, kita semua pasti setuju ada sesuatu yang belum pas dari implementasi kurikulum yang tengah dijalankan. Dan, apakah ini hanya seprintilan?.