INFOTIPIKOR.COM | KABUPATEN TASIKMALAYA –– Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum, mengungkapkan rasa prihatinnya atas kejadian pemerkosaan terhadap belasan santriwati oleh seorang oknum Guru di Kota Bandung.
Sosok Panglima Santri Jabar menghendaki pelaku dapat ditindak tegas oleh para aparat penegak hukum.Agar dijerat hukuman yang berlaku.
“Jadi menanggapi apa yang sekarang beredar tentang ada seorang guru yang memperkosa muridnya sampai hamil. Pertama saya berharap kejadian ini tidak terulang kembali, Kedua saya merasa prihatin sebagai komunitas Pondok Pesantren kejadian semacam ini,” ungkap Pak Uu, di Pondok Pesantren Al Ruzhan, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kamis (09/12/2021).
“Kemudian juga kita mendukung kalaupun itu sudah ditangani oleh pihak Kepolisian atau APH (Aparat Penegak Hukum), agar diberlakukan hukum yang berlaku,” tambahnya.
Selanjutnya, Pak Uu– sapaan Karib Uu Ruzhanul Ulum berharap masyarakat luas tidak menyamaratakan semua guru ngaji punya perilaku serupa. Sehingga, tidak boleh ada rasa ketakutan dari para orang tua yang putra- putrinya sedang menempuh pendidikan di Majlis Ta’lim, di Pondok Pesantren, atau di Madrasah Diniyah.Asalkan lembaganya sudah terpercaya serta jelas sejarah dan asal usulnya.
“Sekitar 12 ribu pondok pesantren yang ada di Jawa Barat belum ditambah mungkin Majelis-majelis, termasuk juga Madrasah Diniyah kemudian juga yang lainnya itu harapan kami tidak disamaratakan,” harap Dia.
Pak Uu juga menyebut, bahwa dari hasil penelusurannya terkait siapa oknum Guru tersebut. Diketahui bahwa tersangka memang pernah menpuh pendidikan di suatu pondok pesantren, namun memang yang bersangkutan punya track record kurang baik.
“Ternyata memang saya bertanya kepada orang- orang yang kenal dia. Dia memang pernah pesantren tapi ga benar terus dia berperilakunya tidak sama dengan komunitas pesantren yang lainnya,” katanya.
Lebih lanjut, Pak Uu menjelaskan bahwa pengawasan terhadap anak yang sedang mondok di pesantren adalah hak bagi setiap orang tua/ wali murid. Dengan begitu orang tua dapat memantau perkembangan anak. Juga mengecek kondisi mulai dari kesehatan fisik, mental, dan hal lainnya.
“Nah kemudian juga kalau di pesantren yang benar orang tua ini tidak memberikan secara full tetapi tetap harus ada ‘ngalongok ka Pesantren,’ (bahkan) pesantren saya ada libur setahun dua kali. Orang tua boleh menengok perkembangan anak di pesantren. Sehingga terpantau pendidikan, kesehatan, dan lainnya tidak cukup dengan telpon,” kata Pak Uu.
Selanjutnya orang tua perlu mengedepankan kehati- hatian ekstra sebelum anaknya dipercayakan untuk jadi peserta didik suatu lembaga. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan mulai dari biaya, fasilitas, metode belajar, asal usul pendidikan guru, pendiri, yayasan, hingga legalitas lembaga yang berdiri.
Selanjutnya, orang tua bisa memilih sekolah yang sudah terbukti menghasilkan lulusan berkualitas. Bisa saja dengan melihat tetangga, kerabat, atau testimoni dari lulusan yang sudah pernah menempuh pendidikan di suatu lembaga.
“Kemudian juga kita harus mewaspadai seandainya ada pesantren- pesantren yang aneh- aneh. Dari pendidikannya, perilaku, dan lainnya, jangan sampai orang tua ini memberikan anak kepada pesantren tetapi tidak tau latar belakang lembaga tersebut,” tutur Pak Uu.
Adapun perkembangan saat ini, para santriwati yang menjadi korban tengah mendapat pendampingan oleh tim DP3AKB provinsi Jawa Barat untuk trauma healing. Kemudian akan disiapkan pola pendidikan baru sesuai hak tumbuh kembangnya.
Berharap kejadian serupa tak terulang di masa yang akan datang, Pak Uu berharap hukum yang seadil- adilnya terhadap pelaku. Serta adanya pengawasan yang lebih prima dari semua pihak.
Adapun kepada pihak yayasan atau lembaga pendidikan/ pesantren, Pak Uu meminta agar rutin memonitor setiap kegiatan di sarana pendidikannya. Selanjutnya agar lebih selektif memilih tenaga pengajar.
“Saya juga minta kepada pimpinan pesantren harus ada pemantauan ketat terhadap para pengajar ustad /ustadah, asatid/ asatidah termasuk pengurusan yang lain,” tegas Pak Uu.
“Dan juga biasanya di pesantren inikan santri putri diajar guru putri lagi. Santri laki- laki oleh guru laki -laki lagi. Kecuali biasanya pimpinan umum pesantren atau pendiri sebagai ‘Syaikhul Masyaikh’ (tertua) baru bisa mengajar santri/ santriwati. Tetapi itupun biasanya dibatasi dengan kelir pembatas antara laki- laki dan perempuan,” ucapnya.
Adapun bicara pengawasan dari Pemerintah Daerah, khususnya di tingkat Provinsi, Pak Uu menyebut bahwa lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Diharapkan Perda yang mengatur mulai dari pembinaan, Pemberdayaan, serta pembiayaan di lingkungan pesantren ini jadi payung hukum tersendiri supaya hadir pula pengawasan yang lebih ketat dan meningkatkan monitoring terhadap penyelenggaraan pendidikan pesantren di Jawa Barat.
“Kami sekarng punya Perda Pesantren, di perda pesantren ada pembinaan, pemberdayaan, ketiga anggaran. Kami diminta tidak diminta sebagai pemerintah Daerah kepada sleuruh lembaga pesantren untuk melaksanakan pembinaan tapi bukan berati kami merasa menggurui,” ujarnya.
Terakhir, Pak Uu mendorong agar aparat setempat di level desa/ kelurahan juga selalu memonitor setiap kegiatan publik yang berada di wilayah kewenangannya, termasuk kegiatan pendidikan.
(Redaksi)