INFOTIPIKOR.COM | Oleh : Rosihon Anwar, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung – (Kampus I) Ada yang menarik di balik redaksi perintah Alquran tentang puasa pada surat Al-Baqarah ayat 183.
Coba perhatikan, semuanya menggunakan kata ganti “kamu jamak”. “Diperintahkan kepada kamu sekalian berpuasa”, “sebelum kamu sekalian”, dan “semoga kamu sekalian bertakwa”.
Memang tidak hanya perintah puasa, pada umumnya titah-titah agama memiliki pola redaksi yang sama.
Sebagai kitab suci yang pemilihan redaksinya dipandang sebagai mukjizat, tentu saja Alquran dipandang memiliki tujuan di balik setiap redaksinya, termasuk redaksi tentang perintah puasa.
Ya, ada makna di balik redaksi “kekamuan”. Yang disentuh bukan saja muslim sebagai individu, tetapi juga muslim sebagai komunitas dan kelompok.
Ada makna tersirat di sana, bahwa puasa bukan sekedar berdimensi individu, tetapi juga berdimensi sosial.
Coba bandingkan antara dua redaksi berikut.”Telah diperintahkan puasa kepadamu” dan redaksi “Telah diperintahkan puasa kepadamu sekalian”.
Kira-kira apa perbedaannya? Ya, sisi kebersamaan, kekompakan, dan sepenanggungan bersama. Ada energi kuat tatkala disebutkan bahwa puasa adalah kewajiban untuk kamu-kamu semua, buka hanya kamu sendiri.
Coba bedakan pula: Tatkala kamu sendirian mendapat beban perintah yang dianggap berat, sementara di luar kamu tidak mendapatkan beban tersebut. Kerasa kan beban psikologisnya. Beda jika beban berat itu menjadi beban banyak orang.
Memang berpuasa itu berat? Kalau tidak berat, tidak perlulah Allah, dalam surat Al-Baqarah ayat 183, menyebut-nyebut bahwa toh puasa juga pernah diperintahkan kepada umat sebelumnya.
Makna sisi “kekamuan” lainnya, perintah puasa seolah-olah berhadapan langsung antara Allah dengan “kamu”, bukan antara Allah dengan “dia”.
Ini perintah terhadap orang yang berada di hadapan. Titah langsung dengan titah yang dititipkan pasti beda maknanya. Iya kan?
Keutamaan-keutamaan puasa diraih dengan melibatkan “kamu”, pihak orang lain. Tarawih, berderma, berbagi, zakat fitrah, memakmurkan mesjid, dan lainnya. Semuanya lazimnya melibatkan kamu-kamu yang banyak.
Ketakwaan yang menjadi tujuan berpuasa adalah proses yang melibatkan saya dengan “kamu-kamu”, hatta yang sifatnya ibadah ritual. Shalat terjadi tatkala ada orang yang mempersiapkan sarananya. Apalagi ibadah-ibadah sosial.
Apa yang perlu kita simpulkan. Beragama itu bukan hanya persoalan “saya”, dan “dia”, tetapi juga persoalan relasi dengan “kamu”, “kamu”, dan “kamu”.
Selamat menjalankan ibadah saum Ramadan.
(Indra Jaya | ITP)