Editor : Herman Makuaseng
Oleh : #NiatSeputihRambut🇮🇩
Pengamat Kebijkan dan Ekonomi Publik
INFOTIPIKOR.COM – Postur RAPBN 2026 : (Triliun)
A. Pendapatan Negara Rp.3.153,58
•. Penerimaan Pajak Rp. 2.693,71.,
•. PNBP. Rp. 459,71.,
•. Hibah. Rp. 0,66.,
B. Belanja Negara Rp. 3. 842,73.,
•. BPP Rp. 3.149,73 .,
•. Belanja K/L. Rp.1.510,55
•. Belanja Non K/L Rp.1.639,19
•. Transfer Ke Daerah Rp. 692,99.,
•. Leseimbanga. Primer Rp. 89,71
•. Surplus/Defisit. Rp. 689,51
%terhadap PDB. 2,68 %
•. Pembiayaan Rp. 689,15
Dalam prespektif kebijkan publik, bahwa postur APBN, APBD dan APBDes merupakan istrumen utama negara dan faedah yang diasumsikan untuk mensejahterakan rakyat melalui beberapa kebijakan stategis dan program prioritas yang pro rakyat
Postur RAPBN 2026
Dengan postur RAPBN 2026 di sisi pendapatan negara diproyeksikan (baca:ditargetkan ) mencapai sebesar
Rp. 3.153, 58 Triliun. Dari jumlah itu sebesar 81,98% atau Rp. 3149,73 Triliun terkosentrasi belanja Kementerian/Lembaga, serta non Kementerian/Lembaga Tingkat Pusat. Dan hanya 18,02% atau Rp. 692,99 Triliun porsi daerah dalam bentuk dana perimbangan Transfer ke Daerah (TKD). Adapun rincian dana TKD adalah :
1.Dana Bagi Hasil (DBH) : Rp45,1 Triliun.
2.Dana Alokasi Umum (DAU) : Rp.373,8 Triliun.
3.Dana Alokasi Khusus (DAK) : Rp.155,5 Triliun.
4.Dana Otonomi Khusus (Otsus) : Rp. 13,1 Triliun.
5.Dana Keistimewaan (DIY) : Rp.500 Milyar.
6.Dana Desa : Rp.60,6 Triliun.
7.Insentif Fiskal : Rp.1,8 Triliun.
Jika dibandingkan dengan TKD 2025 yaitu sebesar Rp. 848 Triliun, menjadi Rp.696,99 Triliun di RAPBN 2026, menurun 18.29% atau sebesar Rp.155,01 Triliun. Penurunan dana TKD sudah pasti akan berdampak pada penurunan atau pelemahan kapasitas fiskal pemerintah ( Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa) untuk membiayai fungsi pelayanan publik bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sentralisasi fiskal juga akan melemahkan kinerja sentra-sentra pertumbuhan ekonomi di daerah, terutama produktivitas sektor ekonomi, termasuk UMKM. Karena yang terjadi adalah penurunan volume transaksi dan berkurangnya jumlah peredaran uang di masyarakat, yang bersumber dari belanja pemerintah.
Karena salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi adalah Goverment Ekspenditure yang bersumber dari APBD dan APBDes. Saya pikir ini menjadi problema, karena postur RAPBN 2026 sangat sentralisasi fiskal bukan pesimis, tapi memang agak sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 6% atau 7% apalagi 8%, seperti yang diharapkan Menteri Keuangan Purbaya. Alasannya, karena sentra-sentara ekonomi di daerah tidak bergerak secara maksimal karena terbatasnya kapasitas fiskal di pemerintah daerah.
Kontribusi Perekonomian Daerah
Terhadap PDB Nasional
Bahwa perekonomian di daerah merupakan penggerak utama perekonomian nasional terutama sektor yang produktif. Ini gambaran kontribusi perekonomian daerah terhadap PDB Nasional 2024 berdasarkan wilayah :
– Pulau Jawa : 56,84% terhadap PDB nasional, dengan sektor manufaktur dan jasa sebagai motor utama penggerak ekonomi nasional.
– Sumatera : 22,30% terhadap PDB nasional, dengan sektor pertanian dan industri sebagai penyumbang utama.
– Kalimantan : 8,15% PDB nasional, dengan sektor pertambangan sebagai penyumbang utama, terutama batu bara.
– Sulawesi : 7,23% terhadap PDB nasional, dengan sektor pertanian, perikanan, dan pertambangan nikel sebagai penyumbang utama.
– Bali dan Nusa Tenggara : 2,82% terhadap PDB nasional, dengan sektor pariwisata sebagai penyumbang utama.
– Maluku dan Papua : 2,66% terhadap PDB nasional, dengan sektor pertambangan dan sumber daya alam sebagai penyumbang utama.
Bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 mencapai 5,03%, dengan PDB sebesar Rp. 22.139 Triliun dan PDB per kapita sebesar Rp. 78,62 Juta atau USD 4.960,33 .
Itu sebuah indikator, bahwa betapa pentingya mendorong perekonomian daerah dengan peningkatan kapasitas fiskalnya melalui istrumen TKD di dalam postur APBN.
Skenario Efisiensi Anggaran, Harmonisasi Program dan ASTACITA
Jika postur RAPBN 2026 seperti yang telah disepakati oleh Komisi XI DPR RI, maka bisa dipastikan akan terjadi penurunan TKD, dan pasti berimplikasi pada penurunan pendapatan daerah di RAPBD 2026 baik untuk Provinsi, Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia, termasuk RAPBDes 2026 (kecuali Propinsi DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah,Jawa Timur, Sumetera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan beberapa Kabupaten /Kota ) yang potensi pendapatan asli daerahnya cukup tinggi.
Menjawab tantangan penurunan kapasitas fiskal yaitu pendapatan daerah dalam struktur APBD, maka pemerintah daerah harus melakukan tiga skenario agar kualitas belanja bisa membiayai program dan kegiatan prioritas masing-masing pemerintah daerah .
Berdasarkan postur RAPBN 2026 yang telah disepakati antara Komiai XI DPR RI dengan Pemerintah (Kementerian Keuangan), maka hampir dapat dipastikan pada tahun anggaran 2026 akan terjadi penurunan besaran pendapatan daerah dalam struktur APBD Provinsi, Kabupaten, Kota dan APBDes seluruh Indonesia yang bersumber dari dana transfer Kementerian Keuangan.
Kondisi itu mengharuskan pemerintah daerah melakukan kebijkan efisiensi belanja dan harmonisasi program melalui dua pendekatan :
Pertama : Kebijakan Efisiensi Anggaran
Dalam tekanan fiskal sekarang ini maka pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta Pemerintah Desa harus melakukan efisiensi anggaran :
1.Mengurangi biaya umum yang sifatnya komponen belanja pendukung kegiatan, yang seminimal mungkin tidak mengurangi capaian indikator kinerja program, indikator kinerja kegiatan, dan indikator kinerja kunci. Efisien mencakup : Belanja, perjalan dinas, belanja rapat, koordinasi, evaluasi, pelaporan dan makan minum.
2.Dalam setiap program ada beberapa kegiatan. Pilih dan kurangi kegiatan atau sub kegiatan yang tidak super prioritas, dan tidak mempengaruhi pencapaian indikator kinerja program dan indikator kinerja kunci .
Kedua : Kebijakan Harmonisasi Program, Shering Pembiayaan
Kebijakan harmonisasi program antar tingkatan pemerintahan adalah sebuah keharusan. Ini sebuah kebutuhan untuk menciptakan sinergitas, kolaborasi program di tengah kondisi keterbatasan fiskal, tujuannya adalah efisiensi. Dalam konteks itu kebijakan harmonisasi program adalah kerja sama antara Pemda Provinsi dengan Pemda Kabupaten dan Kota dalam satu wilayah Propinsi.
Wujud kebijkan harmonisasi program dalam bentuk kerja sama shering dalam pembiayaan dalam kegiatan atau program yang sama. Kerja sama shering pembiayaan kegiatan dilakukan melalui dokumen kesepakatan antara kepala satuan perangkat daerah, sebagai Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di setiap perangkat daerah. Pemda harus kreatif dan inovatif dalam menyiasati kondisi keterbatasan fiskal. Beban pembiayaan pembangunan harus ditanggung bersama antara Pemda Provinsi dengan Pemda Kabupaten/ Kota, agar terasa ringan.
Kabijakan harmonisasi program juga ditujukan menghindari tumpang tindih program antara Pemda, meningkatkan efisiensi dan efektifitas, sebagai fungsi koordinasi, meningkatkan kualitas layanan dan transparansi .
Ketiga : Implementasi ASTACITA melalui Program Prioritas Presiden di Daerah
Pemerintah daerah harus lebih kreatif melakukan koordinasi dan harmonisasi dengan Kementerian dan Lembaga. Karena dalam postur RAPBN 2026 Belanja Pemerintah Pusat (BPP) yang tersebar di Kementerian dan Lembaga ( K/L) dan Non (K/L), yaitu sebesar Rp. 3.149,73 Triliun untuk pembiayaan 8 program perioritas Presiden bagian dari ASTACITA, yaitu :
– Pendidikan : Rp.757,8 Triliun, meliputi Program Indonesia Pintar (PIP) untuk 21,1 Juta siswa, KIP Kuliah bagi 1,2 Juta mahasiswa, dan beasiswa LPDP.
– Program Makan Bergizi Gratis (MBG) : Rp.335 Triliun untuk 82,9 Juta penerima manfaat.
– Kesehatan : Rp.244 Triliun, termasuk iuran BPJS sebesar Rp.69 Triliun untuk 96,8 Juta peserta dan revitalisasi rumah sakit.
– Ketahanan Pangan : Rp.164,4 Triliun, dengan subsidi pupuk Rp.53,3 Triliun dan dukungan kepada Bulog Rp.22,7 Triliun.
– Ketahanan Energi : Rp.402,4 Triliun, mencakup subsidi BBM, Listrik, LPG 3 kg, dan pengembangan energi baru terbarukan.
– Pembangunan Desa, Koperasi, dan UMKM : Rp.181,8 Triliun, dengan Dana Desa Rp.60,6 Triliun dan subsidi bunga Rp.36,5 Triliun.
– Pertahanan : Rp.185 Triliun untuk modernisasi alutsista.
– Investasi, Perdagangan, dan Perumahan : Rp.57,7 Triliun, dengan target pembangunan Tiga Juta rumah,
ini penting dan perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah membuat usulan ke masing-masing Kementerian dan Lembaga, dengan memperhatikan Tiga hal l, yaitu : relevansi dengan program di daerah dengan ASTACITA, Dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP Kementerian), serta Rencana Strategis Kementerian dan Lembaga (Renstra K/L).
Keempat : Reformasi Kewenangan Pajak dan Retribusi
Untuk memberi penguatan Pemerintah Daerah terutama dari sisi fiskal, dengan tuntutan pelayan kepada masyarakat semakin luas dan kompleks, sudah saatnya melakukan reformasi UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Artinya sistem daftar tertutup (Closed List) jenis-jenis pajak yang menjadi kewenangan Pemda ( Provinsi dan Kabupaten/Kota ) sudah perlu ditinjau kembali. Terutama terkait dengan pajak dan retribusi pengelolaan sumber daya alam pertambangan.
Disamping untuk demi keadilan, juga bahwa semua persoalan dan resiko yang terjadi akibat pengelolaan sumber daya alam seperti kerusakan lingkungan, bencana alam, persoalan tenaga kerja dan persoalan sosial lainnya, semua menjadi resiko dan beban pemerintah daerah. Seperti yang diungkapkan Gubernur Sulawesi Tengah di hadapan DPR RI beberapa waktu lalu, bahwa hasil pajak negara dari sektor pertambangan nikel di Kabupaten Morowali sebesar Rp. 500 Triliun, Pemda Sulawesi Tengah hanya memperoleh Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp. 200 Milyar. Saya pikir wajar saja ada keluhan seperti ini, karena dampak dan resiko kerusakan lingkungan dan problema sosial yang muncul membutuhkan biaya yang besar yang harus ditanggung oleh Pemda Sulawesi Tengah.
Saya pikir di tengah tekanan fiskal yang semakin kecil dibanding dengan tugas, fungsi dan kewenangan Pemda untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu Pemda dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif baik dalam pengelolaan sumber keuangan maupun pada sistem perencanaan kolaboratif dan sinergitas.