Editor : Herman Makuaseng
Oleh : Tanah Gayam (Antonius Fokki Ardiyanto, S.IP)
INFOTIPIKOR.COM, Opini – Romantika, dinamika dan dialektika yang terjadi dalan konflik antara warga Kampung Tegal Lempuyangan, yang menempati 14 rumah eks Belanda dengan PT KAI yang melibatkan pihak Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat selaku pemilik tanah, telah membuka sebuah fakta bahwa posisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks hak rakyat yang hidup di daerah istimewa sangat lemah dan sangat bergantung kepada belas kasihan raja.
Rakyat yang karena sejarah sosial kehidupannya dan ketidaktahuannya telah menempati serta merawat tanah puluhan tahun bahkan mungkin sepanjang hidup keluarga tersebut, secara turun temurun sering tidak mengetahui hal-hal secara hukum berkaitan asal muasal tanah karena sejarah republik sebelum merdeka 17 Agustus 1945 sangat lama ditambah bahwa sebelum merdeka.
Daerah-daerah yang sekarang bernama Republik Indonesia adalah daerah kerajaan dari Sabang sampai Merauke dan dijajah dari VOC sebelum menjadi Belanda, Inggris, Portugis dan Spanyol. Dari daerah-daerah kerajaan yang masih bertahan secara administrasi politik dan diakui sebagai Daerah Istimewa.
Karena perjuangan rakyat sebagai daerah kerajaan hanya Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat (dibentuk Belanda) dan Kadipaten Pakualaman (dibentuk Inggris) menjadi apa yang sekarang disebut Daerah Istimewa Yogyakarta DIY.
Peraturan hukum yang mengiringi perjalanan DIY sebagai daerah istimewa yang diawali dari maklumat 5 September 1945, yaitu bergabung ke Republik Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 menjadi awal adanya peraturan hukum yang mengiringinya.
Ada dinamika dialektika romantika yang mengiringi hubungan bergabungnya DIY ke dalam NKRI,dan yang terbaru adalah adanya UU Keistimewaan DIY tahun 2012 sebagai akibat *Pergerakan rakyat karena ada nuansa waktu itu gubernur dan wakil gubernur dipilih rakyat yang tentu saja akan menghapus keistimewaan.*
Sebagai akibat dari adanya UU keistimewaan tersebut maka Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, mendapat pengakuan khusus salah satunya *hal hak kepemilikan dan pengelolaan tanah* Salah satu kebebasan dalam hal-hak kepemilikan tanah adalah tentang basis peta yang akan digunakan untuk secara hukum mengatakan ini tanah kraton dalem.
Persoalan ini sering berbenturan ketika Kraton sebagai pemilik tanah memberikan hak kepada mereka yang selama ini tidak memanfaatkan tanah tersebut, sehingga rakyat/kawulo dalem yang selama ini merawat dan menggunakan tanah tersebut pasti akan diabaikan hak-haknya baik sebagai warga negara Republik Indonesia atau sebagai kawulo dalem Nagari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Sebagai warga negara Republik Indonesia, rakyat mempunyai dasar di dalam hak-hak berbangsa dan bernegara karena tanpa rakyat maka negara tidak ada yaitu UUD 1945.
Tetapi sebagai Kawulo Dalem dimana UU negara dalam persoalan tanah yaitu UUPA 1960 karena prinsip lex spesialist (perlu diuji dinyatakan tidak berlaku), apa yang menjamin hak rakyat tersebut selain *belas kasian kraton (istilah bebungah).*
Bahkan dalam UU keistimewaan dan turunannya yaitu perdais tentang tanah bahkan pergub tentang pemanfaatan tanah sultanan dan pakualaman, tidak ada pasal yang mengatur tentang jaminan hak-hak rakyat yang menempati merawat dan menduduki tanah tersebut, karena berbagai faktor apabila tanah tersebut akan diberikan kepada pihak lain (ketiga) oleh kraton yang selama ini tidak menempati, merawat dan menduduki tanah tersebut.
Inilah kekosongan hukum yang harus bisa segera diselesaikan supaya konflik-konflik agraria termasuk bangunan diatasnya tidak menjadi konflik sosial politik terbuka antara rakyat, kraton dan pihak ketiga. Serta yang paling penting tidak terjadi proses *pemiskinan rakyat* yang tidak sesuai dengan tujuan kita merdeka yaitu salah satunya *memajukan kesejahteraan umum.*